Thursday, January 22, 2009

Listening Intelligence, Gerbang Memasuki Kesuksesan

MENDENGAR SEBAGAI JALAN MERAIH SUKSES KEHIDUPAN

Sebuah Resensi Buku
Biodata Buku
Pengarang : Bayu Krisna
Judul Buku : Listening Intelligence, Gerbang Memasuki Kesuksesan
Penerbit : Dua Pena, Surabaya
Tahun Terbit : 2008
Jumlah Halaman : i-xii, 13-172


Seorang teman mengungkapkan ilustrasi yang sangat menarik berkaitan dengan mendengar, " Tuhan menciptakan dua telinga dan satu mulut kepada manusia, itu berarti bahwa Tuhan menghendaki kita supaya lebih banyak mendengar daripada berkata-kata".Ilustrasi tersebut sangat tepat untuk menggambarkan tujuan dari keseluruhan esensi dari buku Listening Intelligence, Gerbang Memasuki Total Kesuksesan karya Bayu Krisna. Buku yang mengharapkan orang untuk lebih banyak mendengar daripada berbicara. Sebuah kritik yang dialamatkan kepada para pemimpin dan masyarakat yang seringkali lebih mengagungkan kemampuan berbicara daripada mendengarkan. Padahal kemampuan mendengar adalah kunci untuk bertindak secara tepat dalam segala situasi demi memasuki kesuksesan yang total, entah dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbisnis, atau bahkan dalam hidup dalam perannya sebagi pemimpin.

Mendengar Bukan Dengan Telinga

Buku yang diluncurkan oleh penerbit Dua Pena itu menampilkan potret penulisnya dengan gaya seolah-olah sedang mendengarkan sesuatu dengan telinganya. Meskipun demikian isi dari buku ini tidaklah mengungkapkan secara harafiah tehnik-tehnik mendengarkan dengan organ pendengaran yaitu telinga. Kata mendengar yang dimaksud lebih bermakna konotatif dibanding denotatif.

Mendengar lebih berarti memahami kenyataan dengan sebenar-benarnya atau seobyektif mungkin. Sehingga seseorang dituntut untuk senantiasa mempunyai kesadaran diri yang tinggi terhadap realitas.Jelas dengan maksud seperti diatas maka mendengar tidak hanya bisa dilakukan dengan telinga saja namun dengan menggunakan totalitas hidup yaitu dengan organ tubuh jasmani seperti telinga dan mata sekaligus dengan organ rohani yaitu pikiran dan perasaan.

Jiwa Mendengar Adalah Kerendahan Hati

Sebuah pesan moral yang menjadi inti dari buku ini adalah agar orang mempunyai sikap kerendahan hati karena merupakan kunci dari mendengar yang baik. Tanpa sikap rendah hati maka seseorang akan menemui kegagalan dalam memahami kenyataan karena telah membangun pola tindakannya dengan sebuah kesalahpahaman.

Oleh karena itu Bayu Krisna menjabarkan segala sikap pikiran, perasaan dan spiritualitas yang kontraproduktif dengan sikap kerendahan hati. Ia mengajak pembacanya untuk menyadari dampak-dampak negatif yang dihasilkan oleh pikiran, perasaan dan spiritualitasnya sendiri.Salah satu produk pikiran adalah sensasi. Kritiknya yang pedas diarahkan kepada para motivator yang senang membuai audiennya dengan sensasi-sensasi yang dahsyat sehingga membuat audiennya demikian kecanduan dengan produk berbagai seminar atau pelatihan motivasi. Ia tidak rela sensasi dipergunakan sebagai obat narkotika untuk menjerat banyak orang kedalam bisnis seminar.

Hal yang jahat dilakukan oleh sensasi dalam seminar-seminar adalah memperdaya orang dengan mengeruk duitnya tanpa mengubah perilaku orang tersebut menjadi lebih baik.Sensasi membuat seseorang tidak menyadari kenyataan dengan sesungguhnya karena menumpulkan daya kritis.

Dalam ilmu komunikasi sensasi membawa pendengarnya dalam pikiran heuristic dalam arti pikiran yang hanya menerima atau menikmati saja apa yang disuguhkan tanpa memahaminya. Sensasi mempengaruhi seseorang untuk menerima dan kemudian melakukan sesuatu tanpa mengkritisinya terlebih dahulu sehingga membuat seseorang gagal dalam memahami sesuatu dengan baik dan itu adalah kegagalan dalam mendengar kenyataan.

Dipihak pembuatnya, sensasi memenuhi kebutuhan manusia yang egosentris alias berpusat pada dirinya sendiri. Dengan sensasi seseorang menginginkan pujian dari orang lain yang akhirnya membuatnya bangga. Persis seperti sikap anak-anak yang menyukai sanjungan terlebih dahulu sebelum menjalankan tugasnya. Sensasi memupuk sikap mementingkan diri sendiri dan menuntut orang lain untuk memahami dirinya. Dalam perspektif ini sensasi kontras dengan sikap kerendahan hati yang dijunjung tinggi sebagai kunci untuk dapat mendengar kenyataan orang lain dengan baik.

Hasil kerja pikiran yang lain adalah penilaian dalam bentuk labelisasi atau pencitraan yang dilekatkan kepada pribadi seseorang entah itu pencitraan yang baik ataupun buruk. Pencitraan atau labelisasi tersebut dapat menghalangi seseorang dalam melihat kenyataan pribadi seseorang dengan apa adanya dan sesungguhnya.Selain itu pikiran konfrontatif dan doktriner juga menghambat seseorang dalam mendengar. Pikiran konfrontatif sebenarnya lebih tepat disebut sebagai keinginan untuk selalu menyerang gagasan orang lain. Apabila seseorang telah dirasuki oleh nafsu menyerang ini maka ia tidak akan mampu mencerna dengan baik apa yang dimaksudkan oleh orang lain karena dalam pikirannya orang lain harus dikalahkan gagasannya. Ketika gagasan orang lain dapat diserang maka ia menikmati kebanggan tersendiri.

Sedangkan pikiran doktriner merupakan pikiran yang menganggap bahwa suatu gagasan adalah satu-satunya yang paling benar. Dengan berpikir semacam itu maka seseorang akan menganggap pikiran orang lain sebagai salah. Maka Ia menjadi tertutup terhadap kebenaran yang disampaikan oleh orang lain. Baginya kebenaran adalah yang diyakini oleh dirinya sendiri.Baik pikiran konfrontatif maupun doktriner merupakan perwujudan dari sifat egosentris manusia. Sebuah sikap yang bertolak belakang dengan sikap yang diharapkan untuk mendukung kemampuan mendengar yaitu kerendahatian.

Selanjutnya beberapa perasaan atau emosi yang menghambat seseorang untuk bisa mendengar dengan baik adalah perasaan melebih-lebihkan dalam arti terlalu kagum atau benci terhadap seseorang, perasaan terluka, tak berdaya, kecewa, dan iri. Perasaan-perasaan tersebut harus disadari sebagai perasaan yang mampu menutup mata hati untuk melihat sesuatu dengan jernih. Apabila perasaan-perasaan tersebut tetap dipelihara maka yang terjadi adalah sikap yang penuh dengan prasangka. Untuk dapat mendengar dengan baik maka perasaan-perasaan tersebut harus disadari dan dipulihkan terlebih dahulu dengan cara menerima diri sendiri dan orang lain apa adanya dengan suatu kerendahan hati yang mendalam.

Spiritualitas hidup yang perlu dikembangkan untuk mendukung kemampuan mendengar adalah kasih. Dimana didalamnya ada pengorbanan dalam memberi kepada sesama namun tidak merasa dikorbankan, dan meskipun dikecewakan atau tidak dihargai apa yang dilakukan tetap tidak merasa kecewa.Spiritualitas kasih tidak mengharapkan imbalan apapun dalam menjalankan segala tindakannya bahkan tidak mengharapkan surga atau neraka. Spiritualitas ini lebih berbicara mengenai proses dalam menjalani sesuatu dengan baik daripada berpikir mengenai hasil. Jadi segala tindakan baik yang dilakukan bukan karena mengharapkan upah namun semata-mata karena kasih.

Butuh Kesadaran Diri Setiap SaatUntuk dapat mendengar dengan baik maka diperlukan kesadaran diri senantiasa. Hal tersebut dapat dicapai dengan berlatih kontemplasi/meditasi dalam mendengar suara Tuhan, suara diri, suara sesama dan Alam Semesta. Dimulai dengan menyadari dalam keheningan rahmat Tuhan yang luar biasa yang seringkali dianggap remeh. Menghayati aliran nafas, mendengarkan setiap suara binatang maupun desiran angin dan suara-suara apapun juga serta menikmati suara-suara tersebut dengan ucapan syukur. Mengucap syukur menghasilkan tubuh dan jiwa yang sehat karena orang dipacu untuk menerima segala sesuatu didalam dan diluar dirinya secara apa adanya. Dengan mengucap syukur seseorang diajak melihat kebaikan yang muncul dari segala sesuatu.

Perlu juga membiasakan untuk melihat potret kehidupan sendiri setiap hari. Memahami dan merasakan perubahan-perubahan fisik maupun rohani yang terjadi dalam diri sendiri. Selanjutnya menyadari, mempertanyakan, merenungkan baik cita-cita, harapan maupun keinginan-keinginan serta apa yang disukai dan tidak di sukai serta mengorek dalam diri segala kelemahan dan kelebihannya. Setelah proses pemeriksaan diri itu maka masuk dalam tahap menerima diri sendiri.Akhirnya mendengar akan bermanfaat dalam segala aspek kehidupan. Budaya mendengar dalam keluarga akan meminimalkan faktor konflik rumah tangga. Bagi para pemimpin mendengar suara rakyatnya akan membantu membuat kebijakan yang tepat dan bermanfaat bagi kesejahteraan dan kehidupan bersama.

Para Pengusaha atau Busnissman juga akan mendapat manfaat yang penting dari mendengar karena dapat mengetahui kebutuhan pasar atau konsumen sehingga mendorong peningkatan usaha ekonomi. Juga dapat memaksimalkan hubungan kerja antara bos dan karyawannya sehingga memacu produktivitas perusahaan. Intinya mendengar penting dalam kehidupan manusia karena merupakan kunci dasar untuk membina hubungan yang baik diantara manusia.

Akhirnya Sedikit Kritis

Bahasa bertutur Bayu Krisna enak dirasakan seperti air yang mengalir.
Membaca bukunya tidak perlu takut kecapekaan karena dikemas dengan bahasa yang ringan dan mudah dicerna. Pada intinya dia hendak mengajarkan mengenai kerendahan hati untuk memahami diri sendiri, orang lain, Tuhan dan semesta sehingga relasi yang terjalin didalamnya indah senantiasa.

Namun demikian memang pepatah tiada gading yang tak retak itu benar adanya. Bayu mengusulkan kerendahan hati dan menerima diri apa adanya namun disisi lain esensi dari gaya bertuturnya dan pengemasan buku menunjukkan kekurang konsistenan dalam pesan moral tersebut.

Misalnya berkaitan dengan kealergian Bayu terhadap sensasi yang menjadi topeng bagi seseorang untuk tidak berani tampil apa adanya. Sensasi menurutnya membuai orang pada ketertarikan dan ketakjuban tertentu yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak berpikir kritis dalam melihat dan memahami sesuatu. Namun dipihak lain Bayu banyak menggunakan sensasi-sensasi untuk menarik konsumen atau orang untuk membaca bukunya.

Lihat saja cover cantiknya yang di stempel dengan logo Best Seller merupakan sebuah sensasi tersendiri.

Konsumen digiring untuk berpikir bahwa buku Listening Intelegence mempunyai kualitas yang baik dengan stempel tersebut. Justru ini bukanlah sebuah pembelajaran yang baik bagi penikmat buku karena mereka dimanjakan dengan labelisasi yang sudah dibuat sedemikian rupa agar pikirannya mempunyai persepsi ketertarikan tertentu. Hal semacam ini akan menumpulkan daya kritis seseorang karena akhirnya mereka tidak menggali sendiri penilaian yang obyektif mengenai kebaikan atau keburukan buku tersebut dengan cara membacanya sendiri.

Sensasi lainnya yaitu dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang mencitrakan diri sebagai orang yang dekat dengan tokoh-tokoh terkenal seperti "Saya pernah menerima ketrampilan mendengar dari Dale Carnegie Jakarta [hal.28]", "Meminjam istilah guru saya, Shifu Yonathan purnomo [hal.73]", "Rekan Saya Alvin Lee, seorang politikus yang sangat bersemangat menggerakkan reformasi di negeri ini [hal.89]", "Saya setuju dengan istilah ‘Shifu’ yang dilontarkan oleh guru saya, Shifu Yonathan Purnomo, Pakar kecerdasan...[hal.118]", "Pembawa acara yang menjadi salah satu guru saya (Kris Biantoro)di dunia broadcast...[121]", dll. Lihatlah kata saya yang seringkali dihubungkan dengan nama besar seseorang tokoh.

Kalimat-kalimat tersebut secara tidak sadar adalah proyeksi dari ketidakberanian untuk tampil apa adanya. Penulis hendak bersembunyi dibalik nama-nama besar sang tokoh yang disebutkan. Belum lagi sederet foto-foto prestasi atau aktifitas dari halaman 164-172 merupakan sensasi-sensasi bersama dengan tokoh hebat seperti Andrei Wongso atau gubernur Jawa Tengah H Mardiyanto yang sengaja dilekatkan untuk menarik pembaca.

Tidak salah memang karena tuntutan marketing tetapi menyimak dari esensi yang diajarkan tentang kerendahan hati dan tampil apa adanya serta hendak memberikan pembelajaran orang lain untuk kritis dalam memahami sesuatu maka hal-hal semacam itu menjadikan tidak konsisten. Selamat belajar mendengar!

Oleh Iwan Firman Widiyanto

 
© Copyright by Bayu Krisna Blog  |  Template by Blogspot tutorial